BUYA DIMYATI
BUYA DIMYATI
KH. MUHAMMAD DIMYATI
(BUYA DIMYATI CIDAHU)
Oleh:
Imaduddin Utsman
Beliau bernama lengkap Muhammad Dimyathi bin Muhammad Amin. Ibunya bernama Hj.
Ruqayyah. Lahir di pandeglang 27 Syaban 1347 H bertepatan dengan tahun 1920.
Nasabnya bersambung kepada Nabi Muhammad Saw melaui Maulana Hasanuddin
Sulthan Banten pertama.
Sejak kecil mendapat bimbingan sang ayah dalam mempelajari ajaran Islam. Kemudian Ia berkelana dalam dunia ilmu pengetahuan islam ke berbagai pesantren di tanah jawa. Mulai dari pesantren yang berada di Cadasari, kadu Pesing, pandeglang, Pelamunan, Plered cirebon, Purwakarta, Kaliwungu, Jogja, Watucongol, Bendo Pare dsb.
Sejak kecil mendapat bimbingan sang ayah dalam mempelajari ajaran Islam. Kemudian Ia berkelana dalam dunia ilmu pengetahuan islam ke berbagai pesantren di tanah jawa. Mulai dari pesantren yang berada di Cadasari, kadu Pesing, pandeglang, Pelamunan, Plered cirebon, Purwakarta, Kaliwungu, Jogja, Watucongol, Bendo Pare dsb.
Guru-guru beliau di antaranya adalah Abuya Abdulhalim Kadupesing, Buya Muqri
abdul hamid, Mama Ahmad Bakri Sempur, Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi
Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baedlowi lasem, Mbah Rukyat
Kaliwungu. Kebanyakan guru-guru tersebut wafat tak lama setelah abuya berguru.
Mungkin ini menunjukan bahwa Abuya mewarisi seluruh keilmuan dan keberkahan
mereka rahimahumullah.
Banyak kisah-kisah menakjubkan ketika beliau nyantri. Ketika mondok di watu
congol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada para santri, besok akan datang ‘kitab
banyak’. Ini mungkin adalah sebuah isyarat akan datangnya seorang yang telah
mumpuni akan ilmu pengetahuan tetapi masih haus akan menuntut ilmu. Setelah
berada di pesantren Mbah Dalhar selama 40 hari abuya tak pernah di Tanya
dan disapa. Setelah 40 hari baru Mbah Dalhar memanggil, sampeyan mau apa
jauh-jauh ke sini. Saya mau mondok Mbah. Perlu kamu ketahui di sini gak
ada ilmu, ilmu itu ada di sampeyan. Kamu pulang aja syarahi kitab kitab mbahmu.
Saya tetap mau ngaji aja disini mbah. Kalau begitu kamu harus Bantu ngajar dan
gak boleh punya teman.
Ketika hendak mengaji ke Mbah Baidlowi Lasem beliau disuruh pulang. Tapi
Abuya tetap bertekad menjadi santri Mbah Baedlowi sampai akhirnya Mbah
Baidlowipun menerimanya. Ketika abuya bermaksud berijazah tareqat syadziliyah
kepad Mbah baedlowi beliau menyuruhnya beristikharah. Dengan tawaddu’
Mbah baedlawi merasa tidak pantas mengijazahkan tariqat kepada Abuya. kemudian
setelah istikharah dan menurut istikharah itu bahwa Mbah baedlawi adalah
mursyid yang sudah nihayah dalam tariqat dan tasawwuf , barulah Mbah Baedlowi
mengijajahinya.
Di pondok Bendo pare abuya dikenal dengan Mbah Dim Banten, nama ini
di laqobkan dengan asal Abuya yang berasal dari daerah Banten. Dan di pesantren
inilah Abuya diyakini oleh para santri sebagai sulthonul awliya. Wallahu a’lam.
Murid-murid beliau menyebar dari berbagai peloksok negeri. Mungkin jumlahnya
jutaan bila setiap orang yang pernah mendapatkan pengalaman batin yang berharga
dengan beliau di anggap sebagai murid walau ia hanya bersowan beberapa kali.
Atau pernah mengaji sekali atau dua kali di majlis beliau. Karena banyak para
tamu yang berniat hanya memohon do’a kemudian tertarik ingin mengikuti
pengajian beliau walau hanya sekali. Kiayi-kiayi sepuh wilayah Banten umumnya
mengikuti pengajian beliau setiap malam selasa yang dilaksanakan tengah malam.
Belum murid-murid yang berijazah hizib nashar dan tariqah Sadziliyah yang
jumlahnya sangat banyak.
Di antara murid-murid beliau adalah Ki Mufassir Padarincang, Abah
ucup Caringin, Habib hasan bin Ja’far Asseqaf pengasuh majlis ta’lim nurul
musthofa, Jakarta dan tentunya putra-putra Abuya seperti KH. Murtadlo dan KH.
Muhtadi..
Abuya bagi masyarakat Islam laksana oase di tengah kehidupan yang kering dari
nilai-nilai. Beliaulah lambang keterusterangan di tengah kegemaran berbasa
basi. Beliaulah lambang kiayi yang istiqomah di tengah maraknya kiayi yang
terpesona kehidupan duniawi. Karakternya begitu kuat. Wibawanya tak tertandingi
Presiden RI. Hidupnya begitu sederhana. Ia hanya tinggal di sebuah gubuk lusuh
yang terbuat dari bambu dan seng saja. Majlisnya tak berlistrik. Wajahnya
begitu manis. Marahnya adalah cinta. Lirikannya adalah berkah. Sentuhannya
adalah nikmat agung. Do’anya mustajab. Diamnya adalah berfikir dan berdzikir.
Siapa orang yang pernah berjumpa dengannya pasti akan mendapat kesan berharga
dalam kehidupannya. Kita termasuk orang-orang yang beruntung hidup sezaman
dengannya. Apalagi sampai dapat bertemu dengannya.
Penulis adalah salah seorang yang beruntung itu. Walau penulis tidak nyantri
kepada Buya. Penulis tahun 1994 nyantri di Mama Sanja Kadukaweng. Selama itu
penulis belum pernah bersilaturahmi kepada Buya. baru ketika penulis nyantri di
Abah Hasuri, di Kaloran Serang, adik seperguruan Buya ketika di Kadupesing,
penulis sering berziarah kepada beliau. Penulis mengikuti marhaban bersama
beliau di malam jum’at. Mengikuti pengajian malam selasa bersama beliau. Waktu
itu di antara kitab yang dibaca adalah uqudul juman. Alhamdulillah
penulis begitu beruntung ketika santri yang lain sibuk mencoret kitab, penulis
tak menghiraukan pelajaran karena sibuk memandang sebuah keagungan dari wajah
Buya. yang begitu khusyu membaca dan menerangkan kitab, dan pada suatu ketika
mata indah itu memandangi penulis dengan mesra dan cinta. Allahuma zid
syarafah.
Pada tahun 1999, penulis menikah. Tak lama isteri penulis hamil. Kebetulan
isteri penulis sedang berobat jalan ke dokter karena sebuah penyakit. Menurut
dokter obat yang harus diminum ini harus rutin diminum sampai beberapa bulan.
Dan obat ini bertentangan dengan kehamilan. Artinya bila terus meminum obat
ini, kehamilan harus ditunda, kalau tidak anak anda akan menjadi cacat. Waktu
itu dokter memberitahu penulis tanpa diketahui oleh isteri. Penulis bingung.
Umur kandungan sudah dua bulan lebih, alangkah berdosanya dan yang paling
mengganjal adalah, penulis adalah seorang santri yang diajarkan nilai-nilai
kepasrahan dan keyakinan kepada Tuhan oleh para kiayi. Masa iya penulis
tinggalkan keyakinan kepada Tuhan dengan dugaan dari sang dokter. Akhirnya
penulis memutuskan untuk meminta do’a kepada Buya. Malam jum’at itu penulis
berangkat dari Serang menuju Cidahu. Penulis berharap sampai di pesantren Buya
sebelum tengah malam agar dapat bermarhaban dengan beliau. Alhamdulillah
akhirnya penulis dapat bermarhaban bersama santri dan Buya. setelah marhaban,
sekitar jam tiga penulis keluar bersama santri dari majlis Buya. dipintu majlis
telah menunggu pembagi kue selimpo. Setiap habis marhaban santri
dapat pembagian kue khas Banten itu. Penulis menunggu waktu subuh di kamar
santri. Kebetulan cucu Yai Sanwani Sampang, guru penulis di pesantren Sampang
mesantren di pesantren Buya. Kami menunggu subuh di kamar tingkat yang sempit
yang hanya bisa untuk seorang. Kami berdesakan.
Ketika tong-tong berbunyi dari majlis Buya, seluruh santri bergegas ke
majlis buya untuk berjamaah solat subuh. Indah terasa solat di belakang Buya.
sepertinya malaikat-malaikat ruhaniyyin hanya memperhatikan Kami. Khusyu dan
syahdu. Ketika jamaah selesai seluruh santri keluar dari majlis. Penulis
sendirian diam terpaku memandang Buya membaca wiridannya. Kaki kanannya kadang
di angkat ke atas paha kirinya. Lama juga Buya membaca wirid dan berdo’a. Penulis
muali ragu, apakah penulis salah waktu ingin bertemu Buya. apakah nanti Buya
tidak marah penulis menunggu di belakangnya seperti ini. Ada niat dalam hati
penulis untuk keluar dari majlis buya. namun tiba-tiba seekor kucing masuk ke
majlis buya kemudian berdepa didekat penulis, seakan dia bermaksud menemani
penulis berhadapan dengan Buya. penulis mengurungkan niyat untuk keluar dari
majlis. Sekarang sudah ada teman. Rasa haibah dan takut masih melekat tapi
tidak sedahsyat sebelum ada teman kucing baik ini.
Derigen air sudah penulis kendurkan agar bila Buya selesai wirid, penulis
langsung memohon didoakan. Do’a untuk isteri dan kandungannya. Buya berdehem
masih menghadap kiblat. Kepalanya yang dibalut serban sepertinya agak menengok
ke samping sedikit, agaknya buya ingin tahu siapa orang yang menunggunya
ini. Matanya melirik penulis dan kucing baik yang berdepa dekat penulis.
Kemudian beliau meneruskan wiridnya. Kembali khusyu menghadap kiblat. Walau
sudah ada teman kucing baik penulis mulai ragu lagi, apakah lirikannya tadi
bermaksud menyuruh penulis keluar. Penulis bingung. Dalam kebingungan akhirnya
Buya bangkit dari sajadah dan berbalik kemudian berkata : “ti mana iyeu?
Walaupun penulis berbahasa jawa, penulis faham arti bahasa sunda itu, yang
artinya : dari mana ini? Penulis langsung berkata sambil
mendekatinya dan menyodorkan derigen air : ti serang, Buya, abdi nyuhunkeun
do’a, artinya dari Serang Buya saya memohon do’a. tak ada kalimat lain
yang mampu penulis katakana kepada Buya. kalimat memohon do’a untuk isteri dan
kandungannya pun tak sanggup penulis ungkapkan. Haibah dan wiqar
beliau begitu agung dan dahsyat.
Setelah itu Buya mendekatkan mulutnya ke derigen air itu, beliau meludahinya.
Kemudian penulis pamit bermaksud mencium tangan beliau untuk kedua kali. Beliau
menariknya, seakan tak mau salaman lagi. Penulis agak maras, dalam hati
penulis mungkin Buya marah karena wiridannya penulis ganggu. Penulis keluar
dari majlis. Penulis kira Buya sudah ke dalam kamar kecilnya. Ketika penulis
sampai pintu dan berbalik untuk mengenakan sandal, ternyata Buya masih
memandangi penulis. Mata indah itupun beradu dengan mata penulis. Begitu agung.
Ketika penulis hendak melangkah pergi, penulis melihat Buya mendekati pintu,
penulis faham bahwa Buya akan menutup pintu majlisnya. Dengan segera penulis
menutup pintu majlis itu, dan dari sela-sela pintu tertutup, penulis melihat
senyum bibir buya mengembang. Alhamdulillah, allahumma zid syarafah.
Air yang telah didoakan Buya itu langsung penulis bawa ke rumah. Isteri penulis
langsung meminumnya. Penulis menganjurkan obat dari dokter itu gak usah diminum
lagi. Dan alhamdulillah, anak penulis lahir dengan normal dan selamat
serta penyakit isteri penulis itupun sembuh. Semua itu atas idzin Allah Swt.
Dengan berkah wasilah do’a Buya Cidahu.
Karangan Abuya Dimyati di antaranya minhajul ishtifa menguraikan tenang hizb
nashar dan hijib ikhfa. Dikarang pada bulan rajab 1379/1959. juga
kitab ashlul qadr tentang khushushiyat sahabat pada perang badr. Juga
kitab bahjatul qolaaid, nadzam tijanuddarari, dan alhadiyyat
aljalaliyah tentang tareqat syadziliyah.
Manusia mulia yang sulit dicari penggantinya ini wafat malam jum’at jam 03:oo
WIB tanggal 07 sya’ban 1423 H. bertepatan dengan 03 oktober 2003 setelah
bermarhaban baru selesai. Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah irji’ii ilaa
rabbiki raadliyatam mardliyyah fadkhulii fii ibaadii wadkhulii jannatii.
Masya Allah. Terima kasih atas kisah yg penuh berkah. Semoga menjadi orang shaleh....
BalasHapusأمين
HapusMau tanya apa di pondok cidahu menggunakan kitab karya syekh nawawi? Jika iya kitab apa yang digunakannya?
BalasHapusDi Ponpes Cidahu banyak sekali kitab karangan Syekh Nawawi Tanara Al-Bantani dikaji disitu... Lebih jelasnya bisa langsung datang ke Ponpes Cidahu... 🙏🙏🙏
Hapus